Story
Almira Rinjani Sang Butiran Hujan
Tiba-tiba aku memikirkannya
dalam lamunan, Almira Rinjani. Pendekatanku dengannya hanya hitungan
bulan, kata mereka sesuatu yang singkat amat mudah dilupakan dan aku justru
merasa sebaliknya. Dia seseorang yang tangguh, selalu ceria, penyabar, dan yang
paling spesial adalah kata-kata yang terlontar dari mulutnya selalu terasa
ajaib oleh indera pendengaranku.
Aku sering mendengar teman-temanku berkata, “Kamu beda,
jawabanmu tidak sama seperti orang lain
yang aku bayangkan” aku pun heran karena aku merasa biasa-biasa saja ketika
salah satunya bertanya, “Misalnya kamu tidak punya anak, apa yang kamu
lakukan?” spontan aku menjawab, “Aku akan menganggap anakmu sebagai anakku
juga” dan itu terasa aneh ditelinga mereka. Tetapi sejak aku mengenal Mira lebih
mendalam, aku mulai mengerti apa yang mereka rasakan, dia memang beda.
Kata-katanya yang paling membuatku tertawa adalah, “Kenapa
muter ambil jalur yang lebih jauh sih, kamu kangen dan mau lebih lama boncengin
aku ya?” dia termasuk cewek humoris dan
gila. Aku paling tahu kalau dia selalu menjaga kata-kata yang keluar dari
mulutnya, dan aku yakin dia bukanlah orang yang mudah mengatakan itu kepada
orang lain, yaps kata-kata itu memang untukku.
Aku mulai dekat dengan Mira saat semester kedua sekolah
menengah atas, lebih dekat lagi ketika aku membuatnya celaka. Ceritanya
teman-teman sekelasku mengagendakan jalan-jalan ke daerah perbukitan yang
melewati beberapa sungai yang arusnya
lumayan deras, celakanya saat itu musim hujan, alhasil bebatuan di sepanjang
sungai menjadi licin. Aku terpeleset membentur tubuh Mira, dan dia pun
terjatuh, punggungnya terantuk batu sungai yang lumayan besar. Aku merasa
bersalah melihatnya sesekali mengerjapkan mata, “Aku gak kenapa-napa kok”
katanya mencoba meyakinkanku. Disepanjang perjalanan aku sering mengucapkan
kata maaf sembari membantu dia berjalan dengan perlahan dan sesekali
menggenggam tangannya di rombongan paling belakang.
Dalam “hubungan” yang rasanya aneh ini selalu saja ada
masalah, seringnya adalah masalah luar. Paling parah adalah masalah teman yang
dibesar-besarkan, kami berdua yang tidak punya masalah apa-apa malah terlibat,
lebih jelasnya dilibat-libatkan. Masalah itu membuat hubungan Mira denganku dan
teman-teman yang lainnya menjadi sedikit renggang, hanya satu orang yang bisa
seperti itu, dan semua orang lain pun mengiyakan kalau memang “dia” dalangnya.
Berhubung kami sama-sama cueknya dan masa bodoh dengan orang-orang pembuat
onar, hubungan kami terselamatkan meskipun aku sadar ada sedikit perubahan
darinya tentangku.
Beberapa minggu berlalu, Mira saat itu sibuk menyiapkan
sebuah event penyambutan siswa baru disekolah kami, dia menjadi salah satu
panitia utama, sedangkan aku hanya membantu sebisanya. Saat menjelang maghrib
aku telah sampai di sekolah, aku belum melihat batang hidungnya. Aku khawatir
dan mencoba menghubunginya, “Halo, maaf aku telat. Aku masih dirumah, kamu bisa
jemput aku?” dia langsung berbicara diujung ponselnya, “Ya Allah, Oke tunggu
aku bentar ya, see you” aku segera pergi kerumahnya mengendarai motorku. Sampai
gang rumahnya aku merasa ada yang aneh, aku sekilas melihat bayangannya
melewatiku tapi bukan denganku, dengan lelaki lain. “Hey, ayo buruan” aku kira
bayangan itu tidak nyata, tenyata itu memang dia. Aku berbelok mengikutinya
dari belakang, dengan tatapan nanar aku berusaha tenang.
Setelah tiba disekolah, aku terdiam dan aku sadar sedang
cemburu berat. “Mir kamu kemana aja sih, kurang tanggung jawab sama acara, udah
gitu telat lagi!” Maudy nyerocos dengan cepatnya. Aku hanya bisa diam, karena
aku memang hanya sekedar membantu dibagian hiasan dan dekorasi di event
tersebut, kalau hasil kerja Mira tidak maksimal, aku pun juga tak mau ikut
campur di dalamnya meskip aku juga khawatir dengannya. Di akhir acara dia
menghampiriku, “Kamu kenapa diam terus? Aku buat salah ya? Apa kamu sakit?”
“Berisik” aku menjawab sekenanya.
“Kamu cemburu? Maaf” dia menatapku dengan penyesalan. Dia
orang yang mengerti tingkah laku dan emosiku selain sahabatku Elang yang sudah
aku anggap seperti keluargaku sendiri.
“Katanya tadi minta tolong buat aku jemput, malaaaaaah
diboncengin orang lain” aku menjawabnya dengan senyuman, walaupun hatiku
terkoyak.
“Kan aku tadi sudah minta maaf ay!” dia menundukkan kepala
dan seketika hening pun terjadi.
“Jangan diulangin lagi, aku capek ayo kita pulang” dengan
dongkol aku mengajaknya pulang bersama. Saat itu aku sadar, aku memang
menyayanginya. Tanpa sengaja sejenis area teritorial itu pun terbentuk, dan aku
tidak suka kalau ada orang lain masuk kedalam area itu selain diriku.
Sejak malam itu kami jadi jarang berbicara, aku takut akulah
penyebab semua jarak ini. Aku menyusun rencana agar hubungan kami kembali
seperti semula, aku berencana menghiburnya saat camp ke luar kota dengannya.
Tetapi hal yang tak diduga terjadi, seminggu sebelum keberangkatan badanku drop
dan dianjurkan untuk istirahat total. Dua hari sebelum keberangkatan, aku
merasakan badanku agak mendingan dan aku minta izin bunda untuk pergi ikut camp
tersebut. Ya seperti yang kalian tahu, Bunda melarangku pergi, aku pun menerima
keputusan bunda dengan berat hati.
Pada malam hari, sehari sebelum keberangkatan aku pergi
kerumahnya. “Aku sudah di depan gang rumah kamu, bisa keluar sebentar?” aku mengirim
pesan pendek melalui ponselku. Beberapa menit kemudian dia keluar memakai
atasan berwarna putih, cantik dan sederhana seperti biasanya. “Ada apa
malam-malam kesini? Apa sudah sembuh?” dia mencemaskanku. “Aku tidak bisa ikut
camp denganmu, maaf ya..” aku menunduk menjawabnya. “Iya, kamu istirahat saja
dirumah” dia meneruskan percakapan dengan tersenyum. “Sepertinya suka banget
aku ga ngikut camp, nih simpan ini!” aku mencoba menggoda dan memberikan
sesuatu padanya. “Apa ini?” dia melihat benda itu. “Gantungan kunci couple, aku
simpan bagian yang lainnya, aku pulang dulu ya” aku pamit. “Iya hati-hati” dia
memandangku dan tersenyum.
Tiga hari setelah
acara camp itu, sahabatku yang lain bernama Rama mengajakku bicara. “Bla bla
bla, eh iya waktu acara api unggun kemaren Bang Guntur nembak si Mira lho!
Keren banget pokoknya!” Dia bercerita menggebu-gebu. “Haaahhh!!! Terus?” aku
setengah berteriak menjawab ceritanya. “Ya si Mira nolak lah!” dia menjawabnya
dengan antusias. “Alhamdulillah dia tidak menerimanya, bisa mampus aku!”
Batinku berkecamuk.
Kami menjalani hari seperti biasanya dan semua terasa
aman-aman saja sampai suatu ketika Mira mengatakan sesuatu kepadaku, “Si Risa ketua organisasi kita sepertinya naksir
kamu deh, dulu dia pernah tanya ke aku salah satu dari tiga cowok yang jalan
barengan antara kamu, Elang dan Rama. Dan dia akhirnya perhatiin kamu dan minta
nomor ponselmu, jadi ya aku kasih. Aku jadi ga enak sama dia gara-gara dekat
sama kamu” suasana lobby sekolahku tiba-tiba menjadi hening. “Terus kenapa? Ya
biarin aja lah!” Aku emosi sekali mendengarkan penuturannya, aku kecewa kenapa
saat aku sayang dengan dia, dia seakan-akan justru menominasikan si ketua
organisasi kami itu agar dekat denganku.
Sejak percakapan saat itu, emosi selalu menghanyutkanku. Aku
tidak terima dengan kata-katanya, seakan rasa sayangku untuknya hanya omong
kosong dan iseng belaka. Entahlah waktu seakan berjalan dengan cepat, pada
akhirnya aku dan dia tak pernah saling berhubungan, baik sekedar menyapa
ataupun memberi kabar melalui pesan seperti saat-saat sebelumnya.
Dua tahun setelah kelulusan, aku diberi kesempatan Tuhan
untuk bisa lebih dekat dengannya di suatu perayaan besar salah satu teman seangkatan.
Aku merasa hancur melihatnya, bukan tentang dengan siapa dia sekarang, tapi aku
sadar betapa bodoh dan labilnya aku di waktu yang lalu. Aku pun hanya diam membisu
melihat Mira bergurau dengan Elang beberapa langkah dari tempat dudukku. Aku
hanya bertatapan dengannya saat dia memberikanku nasi rawon, “Ini bagian kamu”
tetap dengan senyum manisnya seperti dulu. “Iya, terimakasih” aku menjawab
datar dan tersenyum. Hari itu aku benar-benar ingin dikuatkan, “Tegarkan
hatimu, bang!” aku mendadak konyol dan sok menjadi kuat, tetapi justru aku yang
mengatakan kata itu kepada Elang. Elang mengerti dan menerima keadaanku yang
sedikit lagi mungkin menjadi tidak waras.
Suatu hari aku ingin bertemu dengannya kembali, aku ingin
meminta maaf karena telah menyakitinya disaat aku sedang terluka. Aku ingin
mengatakan, “Almira, rasa sayangku waktu itu tidaklah bercanda, hanya pikiranku
yang tak dapat mudah menerima. Thanks, karenamu aku belajar banyak hal, aku
sangat bersyukur karena hadirmu, meskipun aku tak yakin kamu juga merasa begitu.”
Hujan pertama dibulan ini seketika menyadarkanku dari
lamunan, aroma tanah basah menimbulkan suatu ketenangan untuk jiwa-jiwa yang
sedang dilanda kerinduan. Aku tersenyum
memandang keluar jendela, rasa itu masih ada. Aku telah menitipkan rasa itu
kepada butiran hujan, agar aku selalu mengingatmu yang menentramkan.
0 komentar
Posting Komentar
Holla, terimakasih atas kunjungannya. Tinggalkan jejak kamu di komentar ya. :)