Personal
Dia Keluargaku
Saya pernah mempunyai pemikiran bahwa kata “sahabat” adalah kata-kata
yang so bullshit. Jangan mencela dulu, seseorang pasti mempunyai alasan mengapa
dia memutuskan sesuatu. Saya dulu juga mempunyai sahabat seperti kalian, banyak
sekali. Mereka sangat mengerti saya dan meninggalkan saya ketika mempunyai
teman baru, it’s normal ketika kamu merasa mereka tidak adil kepadamu. Kamu mungkin
pernah berpikiran :
“Aku lho selalu ada
buat mereka. Kenapa ketika aku butuh mereka, mereka selalu menghilang?”
Saya juga pernah berpikiran seperti itu, sering tepatnya. Tetapi
saya sadar, kalau mereka tidak butuh saya ya tidak mungkin mereka ada di dekat
saya, membantu saya.
Back to the topic, bukan itu masalah sebenarnya. Saya percaya
sekali dengan seseorang, dia sahabat saya. Saya sangat menghargainya, kami saling
membantu, bertengkar, sering tertawa, pun dengan sedihnya seperti FTV yang menjamur di Negara kita. Pada suatu
saat kita punya masalah yang tidak bisa ditolerir lagi, tjinta (sfx : dhuar). Kami
berbeda pendapat, dan akhirnya saling menjatuhkan. Sebenarnya saya berusaha
menjadi pihak netral, tetapi ya tetap saja saya dibilang lebih memihak orang
yang saya sayang. Saya jelas memilih sahabat saya, dan meminta agar orang yang
saya sayang tersebut untuk menunggu agar masalah mereda. Seminggu kemudian saya
lihat dia bergandengan tangan dengan orang lain ( plis bunuh gue! ). Ya, it’s
oke lah akurapopo ( read : aku rapuh porak poranda ) itu jalan terbaik yang
saya pikirkan. Tetapi setelah itu semuanya berubah, sahabat saya ini selalu
menjadi momok dalam kehidupan tjinta saya. Mendukung tapi menjatuhkan dari
belakang, absolutely I hate it. Sejak saat itu saya memutuskan menghapus
sahabat dari kamus hidup saya, menggantinya cukup dengan kata teman.
Beberapa tahun kemudian, saya sangat speechless menemukan
orang yang sangat berarti dan mengakui keberadaan saya. Ceritanya singkat, saat
saya membacakan suatu cerita yang menusuk hati di depan banyak orang. Waktu itu
sudah mencapai klimaks cerita yang seharusnya tegang tetapi saya membuat semua
orang tertawa terbahak-bahak karena kesalahan saya dalam mengucapkan kata. Ajaibnya,
saya melihat dua bola mata yang berkaca-kaca terus memperhatikan saat saya berada
di depan, iya dialah orangnya. Saya berusaha dekat dengannya, mengorek segala
informasi darinya ( entahlah saya mungkin punya bakat ngestalk dan
mengintrogasi seseorang dengan cara menyudutkannya ). Saya bisa menyimpulkan suatu
hal, dia dan saya itu sama. Kami mungkin sejenis anak kembar yang tertukar
seperti di film-film, dan saat itu saya merasa tidak sendiri. Sejujurnya dulu
saya sangat terpuruk dengan keadaan, saya merasa menjadi orang yang besar di
tempat yang sangat kecil, terkurung dalam sangkar. Ternyata kekerasan tidak
hanya menimpa saya, tetapi dia juga. Dia juga merasa aneh bisa berbicara dengan
bebas kepada saya, karena dia juga termasuk orang yang misterius versi pemikiran
saya. Saya menemukan sesuatu yang telah lama hilang, kepercayaan, solidaritas,
kebersamaan, dan rasa kasih yang lain selain kehangatan dari orang tua. Iya, dia adalah keluarga sekaligus orang yang
saya anggap seperti kakak saya sendiri, saudara tanpa ikatan darah yang ditakdirkan
bertemu di persimpangan jalan-Nya.
0 komentar
Posting Komentar
Holla, terimakasih atas kunjungannya. Tinggalkan jejak kamu di komentar ya. :)